Selasa, 19 Agustus 2014

ISPA

ISPA non Pnuemonia / Common Cold / Flu
dr. Denny
Definisi
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spectrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, faktor pejamu. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari.  Gejalanya meliputi demam, batuk, nyeri tenggorok, pilek, sesak nafas, mengi, atau kesulitan bernafas (WHO, 2007). Nama lain dari ISPA diantaranya dikenal dengan Common cold atau FLU.
Menurut Depkes RI (2007) ISPA adalah infeksi saluran pernapasan akut, istilah ini meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut:
infeksi adalah masuknya kuman atau mikro organisme kedalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
Saluran pernapasan adalah organ dari hidung hingga alvioli serta organ adneksanya seperti sinus-sinus rongga telinga tengah dan pleura.
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung selama 14 hari diambil untuk menunjukan peroses akut. Meskipun beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini berlangsung lebih dari 14 hari.
Klasifikasi
Infeksi saluran pernafasan akut dibagi menjadi dua yaitu ISPA non pneumonia dan ISPA pneumonia. Hal ini disebabkan karena pada pneumonia proses infeksi mengenai alveoli paru-paru. Pada anak, infeksi pada jaringan alveoli ini disertai dengan infeksi pada bronkus yang disebut dengan bronkopneumonia. ISPA non pneumonia biasanya lebih ringan dibandingkan dengan ISPA pneumonia. ISPA pneumonia disertai sesak nafas (IDAI, 2008).
Etiologi (Penyebab)
Patogen yang menyebabkan ISPA non pneumonia diantaranya adalah dari golongan virus : Rhinovirus, respiratory syncytial virus, parainfluenza virus, severe acute respiratory syndrome associated corona virus (SARS-CoV), dan virus influenza. Penyebab bakteri diantaranya : Haemophilus influenza, Staphylococcus, Legionella, Streptococcus pneumonia, Pseudomonas, , Klebsiella. Bakteri-bakteri tersebut juga sering menjadi penyebab pneumonia.
Penyebab dari golongan virus merupakan yang paling sering menjadi epidemi dan pandemic di fasilitas pelayanan kesehatan. Namun demikian, mengingat faktor lingkungan dan faktor pejamu yang sering tidak mendukung eradikasi virus ini, seringkali infeksi virus ini juga ditunggangi oleh bakteri.

Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda terkena penyakit ISPA ini diantaranya adalah:
1.       Demam, biasanya suhu tubuh diatas 38oC
2.       Batuk
3.       Pilek
4.       Nafas cepat (lebih dari 20x/min pada orang dewasa, lebih dari 40x pada anak, lebih dari 50x pada bayi kurang dari 12 bulan)
5.       Sesak nafas
6.       Menggunakan otot-otot bantu nafas secara berlebihan
Gejala sesak nafas dan menggunakan otot bantu nafas jarang terjadi, bisanya terjadi pada ISPA pneumonia.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang diantaranya adalah foto rontgen dada, pemeriksaan sputum atau dahak namun jarang digunakan dalam menegakkan diagnosis ini.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan non medikamentosa diantaranya adalah bed rest atau istirahat total, kompres air hangat untuk menurunkan demam, diet gizi seimbang, perbanyak minum air putih, dan hindari udara dingin, debu, dan polusi.
Penatalaksanaan medikamentosa yaitu dengan pemberian obat simptomatis seperti : Paracetamol, CTM, efedrin/pseudoefedrin, prednisone, ambroxol, GG, Dextromethorphan. Untuk menurunkan panas, batuk, pilek, dan inflamasi yang terjadi pada saluran pernafasan atas. Antibiotik biasanya juga diberikan mengingat faktor lingkungan dan faktor pejamu yang mungkin kurang baik. Antibiotik yang umumnya digunakan yaitu amoxicillin, penicillin, atau ampisilin.

Sumber :



Minggu, 22 Juni 2014

CUSHING SYNDROME DAN CUSHING DISEASE

Cushing syndrome adalah segala kelainan atau gejala yang muncul ketika tubuh tepapar hormon kortikosteroid dalam dosis tinggi. Kelainan ini dapat terjadi apabila tubuh terlalu banyak mengonsumsi kortisol atau hormon steroid. Dalam keadaan normal tubuh sendiri sudah memproduksi hormon kortikosteroid dalam dosis fisiologis atau normal. Hormon kortikosteroid ini diproduksi oleh kelenjar adrenal yang terletak diatas ginjal.

Penyebab
Penyebab dari cushing syndrome ini dibagi menjadi dua, yaitu penyebab eksogen dan endogen. Penyebab eksogen biasanya adalah karena terlalu banyak mengonsumsi obat-obatan yang mengandung kortikosteroid seperti obat asma atau obat rematik (radang sendi). Selain obat-obatan, beberapa produk seperti seperti jamu atau herbal ada yang disinyalir mengandung kortikosteroid. Sehingga mengonsumsi produk tersebut secara berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit ini.
Penyebab endogen oleh karena tubuh itu sendiri yang menghasilkan hormon kortisol secara berlebihan. Penyebab endogen biasanya didasari oleh adanya penyakit lain seperti cushing disease yaitu kelenjar pituitary yang menghasilkan terlalu banyak hormon ACTH, selanjutnya hormone ACTH ini akan merangsang kelenjar adrenal untuk menghasilkan kortikosteroid. Kelenjar pituitary ini terletak di dalam kepala tepatnya di atas batang hidung di dalam dahi. Penyakit cushing disease biasanya disebabkan karena adanya tumor pada kelenjar pituitary tersebut.
Penyebab endogen juga bisa berasal dari tumor pada kelenjar adrenal itu sendiri dan adanya tumor di tempat lain yang dapat memproduksi hormon kortikosteroid (pankreas, thyroid, paru-paru).

Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda yang muncul pada pasien dengan cushing syndrome diantaranya
1.       Kegemukan pada tubuh bagian atas (diatas pinggang) dengan lengan dan tungkai yang kurus.
2.       Wajah membulat / tembem, memerah (moon face)
3.       Pada anak-anak terjadi gangguan kecepatan pertumbuhan
4.       Pada kulit bisa terjadi infeksi atau jerawat, terdapat striae warna ungu pada perut, paha, dan, payudara, kulit juga menjadi mudah memar
5.       Pada otot terjadi kelemahan
6.       Pada tulang terjadi nyeri, nyeri tulang punggung, tulang mudah patah
7.       Pada bahu dan tengkuk terdapat timbunan lemak sehingga terlihat tengkuk dan bahu meninggi (buffalo hump)
8.       Pada wanita biasanya terjadi pertumbuhan rambut berlebihan pada wajah, leher, dada, perut dan paha. Ditambah terjadi gangguan siklus menstruasi menjadi tidak teratur atau bahkan berhenti
9.       Pada pria terjadi impotensi dan penurunan hasrat seksual
10.   Sering sakit kepala, mudah lelah, peningkatan rasa haus dan sering kencing.
11.   Rasa depresi, cemas, atau perubahan pada perilaku

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis cushing syndrome diantaranya adalah :
1.       Pemeriksaan gula darah biasanya tinggi
2.       Pemeriksaan hitung sel darah putih tinggi
3.       Pemeriksaan kadar kolesterol dan trigliserida tinggi, HDL rendah
4.       Kadar potassium (kalium) dalam darah rendah
5.       Kadar kortisol serum
6.       Kadar ACTH
7.       CT scan abdomen
8.       MRI kelenjar pituitary
9.       Pemeriksaan densitas tulang (dual x-ray absroptiometry (DEXA))
Pemeriksaan penunjang lain yang penting diantaranya
1.       Tes urin 24 jam bebas kortisol
2.       Tes saliva kortisol
3.       Tes darah Low-dose dexamethasone suppression test (LDDST)
4.       Corticotropin releasing hormone stimulation test
5.       Test darah HDDST
Penatalaksanaan pasien dengan cushing syndrome diantaranya adalah
1.       Jika penyebab eksogen : Jika penyebabnya adalah karena konsumsi kortikosteroid yang berlebihan, maka penatalaksanaannya adalah dengan menurunkan dosis kortikosteroid secara bertahap. Penurunan dosis ini harus dilaksanakan dan diprogram langsung oleh dokter.
2.       Jika penyebab endogen : Penyebab endogen berupa tumor membutuhkan penatalaksanaan berupa operasi pada tumor tersebut. Operasi ini sangat diperlukan mengingat penyebab utama harus disingkirkan. Tumor dapat menjadi ganas atau jinak. Jika diperlukan selain operasi juga dilakukan kemoterapi dan radioterapi apabila tidak semua tumor dapat diambil dengan operasi. Dapat pula diberikan steroidogenesis inhibitor atau glukokortikoid antagonis.  Somatostatin analog juga dapat digunakan dalam terapi dan sudah disetujui oleh FDA. Somatostatin analog bekerja dengan mengaktivasi somatostatin reseptor sehingga menurunkan produksi kortikosteroid. Obat-obat penghambat steroidogenesis atau disebut steroidogenesis inhibitor diantaranya metyrapone, trilostane, mifepristone, dan ketoconazole.

Kesimpulan
Cushing syndrome dan cushing disease berbeda berdasarkan penyebabnya. Cushing disease disebabkan oleh tumor pada hipofisis, sedangkan cushing syndrome merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh konsumsi kortikosteroid berlebihan dalam waktu lama dan atau disebabkan oleh cushing disease. Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang laboratorium dan pentalaksanaannya tergantung dari penyebabnya.    

Referensi
1.      Stewart PM, Krone NP. The adrenal cortex. In: Kronenberg HM, Shlomo M, Polonsky KS, Larsen PR, eds. Williams Textbook of Endocrinology. 12th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier;2011:chap 15.
2.       McGee S. Cushing syndrome. In: Evidence-Based Physical Diagnosis. 3rd ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Saunders. 2012:chap 13.
3.       Susmeeta TS, Nieman LK. Cushing's syndrome: all variants, detection, and treatment. Endocrinol Metab Clin N Am. 2011;40:379-391
4.       Gail K Adler, MD, PhD. Cushing Syndrome Treatment & Management. Updated 2014. http://emedicine.medscape.com/article/117365-treatment



Kamis, 05 Juni 2014

Overview: Stroke dan Penyakit Kardiovaskular


OVERVIEW : STROKE DAN PENYAKIT KARDIOVASKULAR
dr. Denny Adriansyah

Pendahuluan
Penyakit cerebrovascular yang menjadi salah satu penyebab utama kecacatan dan kematian di dunia yaitu stroke (Bakhai et al., 2004; Goldstein et al., 2006). Setiap tahunnya diperkirakan 15 juta orang terkena stroke, 5 juta diantaranya meninggal dan 5 juta orang lainnya harus menderita kecacatan dan menjadi beban bagi masyarakat sekitar (WHO, 2013). Stroke memberikan pengaruh besar secara klinis yang menuntut para klinisi dan peneliti untuk memahami mekanisme patogenesis penyakit ini dan mengadopsinya menjadi suatu solusi program pencegahan atau terapi (Heuschmann et al., 2003).
Tiga puluh persen dari semua kasus stroke telah diketahui disebabkan karena kardioemboli (Truelsen et al., 2010; Barbarro et al., 2009). Kardioemboli pada penyakit jantung terutama disebabkan oleh atrial fibrilasi yang merupakan manifestasi dari gagal jantung (Hohnloser et al., 2007). Padahal, gagal jantung sendiri merupakan salah satu penyakit sistem kardiovaskuler yang paling sering terjadi di masyarakat dan merupakan kunjungan utama pasien ke pelayanan kesehatan selain hipertensi dan penyakit jantung koroner (Kemenkes, 2012). Penyakit tersebut sangat membatasi aktivitas, memberikan rasa tidak nyaman, dan dapat mengancam jiwa. Selain itu, hipertensi dan penyakit jantung koroner merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke (Endres et al., 2011). Dengan demikian, penyakit stroke memiliki keterkaitan dan tidak dapat serta merta dipisahkan dengan penyakit kardiovaskuler.
Dengan mengetahui keterkaitan antara stroke dan penyakit jantung ini diharapkan dapat memberikan suatu konsekuensi tantangan kepada para klinisi untuk dapat melakukan pencegahan, diagnosis, dan penatalaksanaan yang optimal dalam menangani penyakit stroke.


Epidemiologi
Saat ini diperkirakan sekitar 17 juta orang di dunia telah meninggal akibat penyakit stroke dan kardiovaskular setiap tahunnya. Kasus kematian terbanyak akibat kedua penyakit ini terjadi di negara berkembang. Kecacatan yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat besar. Penyakit kardiovaskuler bertanggung jawab terhadap 10% penyebab kecacatan di negara berkembang sedangkan 5 juta dari 15 juta orang di dunia yang menderita stroke harus merelakan sisa umurnya dalam kecacatan (WHO, 2013).
Tidak seperti tahun sebelumnya, saat ini telah terjadi transisi epidemiologi dengan meningkatnya proporsi penyakit tidak menular di Indonesia (Kemenkes, 2012). Hal ini juga sesuai dengan data epidemiologi dari WHO (2011) yang menunjukkan bahwa di negara berkembang seperti Indonesia penyakit tidak menular terutama penyakit kardiovaskular dan stroke lebih banyak persentasenya dibandingkan dengan penyakit menular (Gambar 1). Keberhasilan pembangunan nasional, berkembangnya modernisasi, dan globalisasi di Indonesia cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskuler (Penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit arteri perifer). Data di Indonesia menunjukkan adanya kecendrungan peningkatan kasus stroke, baik dalam hal kematian, kejadian, dan kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur sebesar 15,9 (45-55 tahun), 26,8% (55-64 tahun), 23,5% (>65 tahun). Insidensi stroke sebesar 51,6/100.000 penduduk, dan kecacatan yang ditimbulkan 4,3% semakin memberat (Kemenkes, 2012).


Gambar 1: Proporsi penyebab kematian di Indonesia tahun 2010. Penyakit tidak menular (Non Communicable Disease / NCD) sebanyak 64% dari total kematian (Sumber: World Health Organization – NCD’s Country Profiles, 2011).


Stroke
Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler.
Menurut definisi yang lain, stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala – gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian (Ginsberg, 2008).
Dua mekanisme penyebab terjadinya stroke menurut National Stroke Association (NSA) USA yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik berarti terdapatnya sumbatan pada pembuluh darah di otak sedangkan stroke hemoragik berarti adanya kerusakan atau ruptur yang terjadi pada pembuluh darah di otak (NSA, 2003).


Stroke dan Penyakit Kardiovaskular
Penyakit gagal jantung kronis       
Penyakit gagal jantung kronis atau chronic heart failure (CHF) didefinisikan sebagai ketidak mampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan metabolisme tubuh. Gejala klinis dari gagal jantung ini diantaranya adalah sesak nafas saat istirahat atau saat beraktivitas, kelelahan, dan kaki membengkak. Sedangkan tanda-tanda yang dapat ditemukan yaitu takikardi, takipneu, ronki paru, efusi pleura, tekanan vena jugularis meningkat, edema perifer, dan hepatomegali (Dickstein et al., 2008).
CHF merupakan salah satu faktor risiko penyebab terjadinya stroke iskemik (Lloyd and Jones, 2010; Hausler et al., 2011). Mekanisme penyebab terjadinya stroke yang paling dikenal yaitu adanya kardioembolik yang terbentuk akibat atrial fibrillation (AF) atau hipokinesia ventrikel kiri pada pasien CHF (Kolominsky-Rabas et al., 2001; Pullicino et al., 2000; Wolf et al., 1991). Mekanisme ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pullicino et al (2000) bahwa gangguan fungsi ventrikel kiri yang diukur dengan ejection fraction <30% terkait dengan peningkatan risiko terjadinya embolus. Selanjutnya berdasarkan penelitian dari Hohnloser et al (2007) yang membandingkan insidensi stroke pada pasien AF yang menggunakan obat antikoagulan menunjukkan bahwa AF merupakan penyebab utama kardioemboli pada pasien CHF. Padahal, prevalensi AF pada pasien CHF sebesar 10-17% (Maisel et al., 2003). Selain itu, akibat dari aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem rennin-angiotensin-aldosteron, terjadi hiperkoagulasi, meningkatkan agregasi trombosit dan menurunkan fibrinolisis pada pasien dengan CHF (Caldwell et al., 2010; Jug et al., 2009). Disfungsi endotel, peningkatan kecepatan aliran darah, dan disregulasi mediator (seperti thrombin dan plasminogen) juga mengaktivasi pembentukan trombus (Jug et al., 2009). Hubungan lain antara CHF dan stroke iskemik yaitu keduanya memiliki faktor risiko yang sama yaitu diabetes mellitus dan hipertensi (Freudenberger et al., 2007). Faktor risiko tersebut membuat pasien CHF juga memiliki risiko yang tinggi terhadap terjadinya atherosclerosis dan oklusi pembuluh darah kecil. Hipotensi yang terjadi pada pasien CHF juga menambah faktor risiko terjadinya stroke melalui mekanisme hipoperfusi (Pullicino et al., 2001; Pullicino et al., 2009). Sebagai tambahan, dalam studi yang dilakukan Appelros et al (2002) menunjukkan bahwa CHF merupakan prediktor yang independen terhadap derajat keparahan stroke iskemik.

Hipertensi
Hipertensi telah diidentifikasikan sebagai faktor risiko utama terjadinya stroke. Dalam studi INTERSTROKE yaitu studi untuk mengevaluasi kontribusi berbagai macam faktor risiko stroke yang dilakukan di seluruh dunia, menyatakan bahwa pasien dengan tekanan darah diatas 160/90 memiliki faktor risiko terkena stroke sebesar 52% (O’Donnell et al., 2010). Dalam studi yang lain, peningkatan tekanan diastolik sebesar 10 mmHg akan meningkatkan gangguan kognitif sebesar 7% (Tsivgoulis et al., 2009). Sedangkan peningkatan 1 mmHg pada tekanan darah sistolik terkait dengan peningkatan 1% risiko penurunan fungsi kognitif di hari tua (Launer et al., 1995).
                Penurunan tekanan darah merupakan suatu pencegahan terjadinya stroke. Hal ini ditunjukkan oleh studi ACCORD, dimana hampir 5000 partisipan dengan diabetes tipe 2 mendapatkan terapi penurunan tekanan darah intensif sampai dengan target tekanan darah sistolik <120 atau 140 mmHg lalu diikuti selama 4,5 tahun, dan hasilnya ternyata stroke merupakan satu-satunya penyakit yang secara signifikan berhasil diturunkan insidensinya (Cushman et al., 2010). Beberapa peneliti juga memperkirakan proteksi yang diperoleh dengan penurunan tekanan darah. Girerd dan Giral (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa setiap penurunan 2 mmHg pada tekanan darah sistolik terkait dengan 25% penurunan risiko terjadinya stroke. Dalam studi yang lebih terkini, penurunan tekanan darah dapat menurunkan 35-44% insidensi stroke yang baru (Jones et al., 2008). Selain itu, Sokol et al (2006) dalam review-nya menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah sebanyak 5, 7,5 dan 10 mmHg akan menurunkan risiko terjadinya stroke minimal 34, 46, dan 56%.

Penyakit Jantung Koroner
Dalam studi investigasi GENIC yang dilakukan oleh Touboul et al (2000) diperkirakan bahwa satu dari empat pasien dengan stroke memiliki riwayat gejala penyakit jantung koroner (PJK). Pasien tersebut memiliki kecendrungan terkena penyakit jantung koroner dengan risiko >20% selama 10 tahun mendatang (Touze et al., 2005; Arima et al., 2006). Selain itu dalam program National Cholesterol Education Program - III (NCEP-III) merekomendasikan studi otopsi dan epidemiologi pada pasien stroke, hasil studi tersebut menunjukkan tingginya frekuensi penyakit jantung koroner pada pasien stroke, termasuk diantara pasien tanpa riwayat aterosklerosis arteri carotis dan atau riwayat PJK (Hankey et al., 2000; Dhamoon et al., 2006; Gongora-Rivera et al., 2007; Amarenco et al., 2008).
Terdapatnya penyakit jantung koroner berhubungan erat dengan pembentukan aterosklerosis. Aterosklerosis dapat terjadi pada pembuluh darah kecil atau percabangan arteri. Dalam patogenesis stroke, aterosklerosis dapat terjadi pada arteri carotis. Aterogenesis itu sendiri merupakan proses yang lama dan bertahun-tahun yang melibatkan obstruksi lumen oleh substansi selular an ekstraselular. Proses patogenesis sangat kompleks dan belum sepenuhnya dipahami (Deb et al., 2010). Patogenesis aterosclerosis melalui beberapa perubahan bentuk yaitu : (1) fatty streak, lesi awal yang terlihat sebagai perubahan warna tunika intima berupa area berwarna kuning akibat dari akumulasi makrofag yang penuh lemak (sel foam). Lesi ini sudah ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun (Stary et al., 1987). (2) Lesi yang lebih parah dengan lipid ekstraselular masif pada pembuluh darah. Ditemukan pada anak dewasa dan usia remaja (Ip et al., 1990). (3) Komplikasi plak fibrous, ditandai area berlemak dengan bagian tengah yang aseluler yang ditutupi oleh sel otot polos dan kolagen. Ditemukan pada dekade ketiga kehidupan (Ip et al., 1990). Urutan proses terjadinya aterosklerosis dapat dilihat pada Gambar 2.


Gambar 2 : Proses terjadinya aterosklerosis
(Sumber : Grahams Child at en.wikipedia Later versions were uploaded by Jrockley at en.wikipedia.(http://www.gnu.org/copyleft/fdl.html)or (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/)], from Wikimedia Commons)
  


DAFTAR PUSTAKA

Amarenco P, Steg PG. 2008. Stroke is a coronary heart disease risk equivalent—implications for future clinical trials in secondary stroke prevention. Eur Heart J. June 3.
Appelros P, Nydevik I, Seiger A, Terent A. 2002. Predictors of severe stroke: influence of preexisting dementia and cardiac disorders. Stroke;33:2357–2362.
Arima H, Tzourio C, Butcher K, Anderson C, Bousser MG, Lees KR, Reid JL, Omae T, Woodward M, MacMahon S, Chalmers J. 2006. Prior events predict cerebrovascular and coronary outcomes in the PROGRESS trial. Stroke;37:1497–1502.
Bakhai A. 2004. The burden of coronary, cerebrovascular and peripheral arterial disease, PharmacoEconomics: 22 (Suppl. 4)  11–18.
Barbarro EG, Rego AR, Gonza´lez-Juanatey JR. 2009. Cardioembolic Stroke: Call for a MultidisciplinaryApproach. Cerebrovasc Dis ;27:82– 87.
Caldwell JC, Mamas MA, Neyses L, Garratt CJ.  2010. What are the thromboembolic risks of heart failure combined with chronic or paroxysmal AF? J Card Fail ;16:340 –347.
Cushman WC, Evans GW, Byington RP, Goff DC Jr, Grimm RH Jr, Cutler JA, Ismail-Beigi F et al. 2010. Effects of intensive blood-pressure control in type 2 diabetes mellitus. N Engl J Med ;362:1575–1585.
Deb P., Sharma S, Hassan K.M. 2010. Pathophysiologic mechanisms of acute ischemic stroke: An overview with emphasis on therapeutic significance beyond thrombolysis. Elsevier:197-218.
Dhamoon MS, Sciacca RR, Rundek T, Sacco RL, Elkind MS. 2006. Recurrent stroke and cardiac risks after first ischemic stroke: the Northern Manhattan Study. Neurology;66:641– 646.
Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, McMurray JJ, Ponikowski P, Poole-Wilson PA, et al. 2008.  ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J;29:2388 –2442.
Freudenberger RS, Hellkamp AS, Halperin JL, Poole J, Anderson J, Johnson G, et al. 2007. Risk factors for thromboembolism in the SCD-Heft Study. Circulation ;115:2637–2641.
Girerd X, Giral P. 2004. Risk stratification for the prevention of cardiovascular complications of hypertension. Curr Med Res Opin ;20:1137–1142.
Gongora-Rivera F, Labreuche J, Jaramilo A, Steg PG, Hauw J-J, Amarenco P. 2007. The prevalence of coronary atherosclerosis in patients with stroke. Stroke;38:1203–1210.
Goldstein LB, Adams R, Alberts MJ, Appel LJ, Brass LM, Bushnell CD, et al. 2006. Primary Prevention of Ischemic Stroke: A Guideline from the American heart Association/American Stroke Association Stroke Council: Cosponsored by the Atherosclerotic Peripheral Vascular Disease Interdisciplinary Working Group; Cardiovascular Nursing Council; Clinical Cardiology Council; Nutrition, Physical Activity, and Metabolism Council; and the Quality of Care and Outcomes Research Interdisciplinary Working Group: The American Academy of Neurology affirms the value of this guidelines. Stroke. 2006;37:1583–1633.
Hankey GJ, Jamrozik K, Broadhurst RJ, Forbes S, Burvill PW, Anderson CS, Stewart-Wynne EG. 2000. Five-year survival after first-ever stroke and related prognostic factors in the Perth Community Stroke Study. Stroke;31:2080 –2086.
Ha¨usler KG, Laufs U, Endres M. 2011. Neurological aspects of chronic heart failure. Nervenarzt ;82:733–742.
Heuschmann P.U., Berger K., Misselwitz B., Hermanek P.,  Leffmann C., Adelmann M., Buecker-Nott H.J., Rother J.,  Neundoerfer B., Kolominsky-Rabas P.L. 2003. Frequency of thrombolytic therapy in patients with acute ischemic stroke and the risk of in-hospital mortality: the German Stroke Registers Study Group. Stroke: 34 1106–1113
Hohnloser SH, Pajitnev D, Pogue J, Healey JS, Pfeffer MA, Yusuf S, Connolly SJ. 2007. Incidence of stroke in paroxysmal versus sustained atrial fibrillation in patients taking oral anticoagulation or combined antiplatelet therapy: an ACTIVEWSubstudy. J Am Coll Cardiol;50:2156–2161.
Jones C, Simpson SH, Mitchell D, Haggarty S, Campbell N, Then K, Chambers LW. 2008. Enhancing hypertension awareness and management in the elderly: lessons learned from the Airdrie Community Hypertension Awareness and Management Program (A-CHAMP). Can J Cardiol;24:561–567.
Jug B, Vene N, Salobir BG, Sebestjen M, Sabovic M, Keber I. 2009. Procoagulant state in heart failure with preserved left ventricular ejection fraction. Int Heart J ;50:591– 600.
Kolominsky-Rabas PL, Weber M, Gefeller O, Neundoerfer B, Heuschmann PU. 2001. Epidemiology of ischemic stroke subtypes according toTOASTcriteria - Incidence, recurrence, and long-termsurvival in ischemic stroke subtypes: a population-based study. Stroke;32:2735.
Kemenkes (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia). 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. www.depkes.go.id.
Launer LJ, Masaki K, Petrovitch H, Foley D, Havlik RJ. 1995. The association between midlife blood pressure levels and late-life cognitive function. The Honolulu-Asia Aging Study. JAMA ;274:1846–1851.
Lloyd-Jones D. 2010. Heart disease and stroke statistics–2010 update. Circulation. ;121:e46–e215.
Maisel WH, Stevenson LW. 2003 Atrial fibrillation in heart failure: epidemiology, pathophysiology, and rationale for therapy. Am J Cardiol;91:2D–8D.
NSA (National Stroke Association). 2003. National Stroke Association’s Complete Guide to Stroke First Edition. www.stroke.org.
O’Donnell MJ, Xavier D, Liu L, Zhang H, Chin SL, Rao-Melacini P , Yusuf S et al. 2010. Risk factors for ischaemic and intracerebral haemorrhagic stroke in 22 countries (the INTERSTROKE study): a case–control study. Lancet ;376:112–123.
Pullicino PM, Halperin JL, Thompson JL. 2000. Stroke in patients with heart failure and reduced left ventricular ejection fraction. Neurology ; 54:288 –294.
Pullicino PM, McClure LA, Wadley VG, Ahmed A, Howard VJ, Howard G, et al. 2009. Blood pressure and stroke in heart failure in the REasons for Geographic And Racial Differences in Stroke (REGARDS) study. Stroke ;40:3706 –3710.
Pullicino P, Mifsud V, Wong E, Graham S, Ali I, Smajlovic D. 2001. Hypoperfusion-related cerebral ischemia and cardiac left ventricular systolic dysfunction. J Stroke Cerebrovasc Dis ;10:178 –182.
Sokol SI, Kapoor JR, Foody JM. 2006. Blood pressure reduction in the primary and secondary prevention of stroke. Curr Vasc Pharmacol;4:155–160.
Touboul PJ, Elbaz A, Koller C, Lucas C, Adraï V, Che´dru F. Amarenco P; on behalf of the GE´ NIC investigators. 2000. Common carotid artery intima-media thickness and ischemic stroke: the GE´NIC case– control study. Circulation. ;102:313–318.
Touze´ E, Varenne O, Chatellier G, Peyrard S, Rothwell PM, Mas J-L. 2005. Risk of myocardial infarction and vascular death after transient ischemic attack and ischemic stroke. A systematic review and meta-analysis. Stroke;36:2748 –2755.
Truelsen T, Krarup LH. 2010. Stroke Awareness in Denmark. Neuroepidemilogy ; 35:165–170.
Tsivgoulis G, Alexandrov AV, Wadley VG, Unverzagt FW, Go RC, Moy CS, Kissela B, Howard G. 2009. Association of higher diastolic blood pressure levels with cognitive impairment. Neurology ;73:589–595.
WHO –CDC. 2013. The Atlas of Heart Disease and Stroke. World Health Organization and US Centers for Disease Control and Prevention.
WHO. 2011. NCD Country Profiles. World Health Organization.http:// www.who.int.
Wolf PA, Abbott RD, Kannel WB. 1991. Atrial fibrillation is an independent risk factor for stroke: the Framingham Study. Stroke ;22:983–988.